Kualitas Tinggi, Batu Bungbulang Tembus Rp2,5 Miliar
Selasa, 9 Desember 2014 − 11:42 WIB
Suatu hari pada tahun 70- an, Ohen, seorang petani asal Desa Cipeundeuy, Kecamatan Bungbulang (kini masuk Kecamatan Caringin), Kabupaten Garut, Jawa Barat, sedang mengolah sawahnya di pinggir kampung.
Secara tidak sengaja, dia menemukan sebongkah batu sebesar kelapa. Batu itu cukup dalam terbenam di dalam lumpur. Setelah bersusah payah menggali, Ohen pun membawanya ke darat. Seusai dicuci bersih, baru ketahuan batu tersebut berwarna hijau. Tak dinyana, rezeki besar bagi Ohen pun tiba. Setelah disimpan di kolong tempat tidurnya, beberapa pekan kemudian seorang warga Bogor yang datang ke rumahnya membeli batu penemuannya.
Yang mengejutkan bagi Ohen dan keluarga, batu ini dihargai Rp1,5 juta. Jumlah uang dengan nilai yang cukup fantastis di era 70-an. “Itu tahun 70-an. Kalau sekarang tidak tahu setara berapa ratus juta. Saat itu harga emas masih di kisaran ratusan perak,” kata Ojan, 50, putra Ohen saat ditemui di rumahnya di Kampung Limus Piit, Desa Caringin, Kecamatan Caringin.
Sejak itulah nama Ohen menjadi terkenal. Mungkin karena kualitas batu yang ditemukannya sangat bagus, maka namanya pun diabadikan menjadi nama batu akik yang berkualitas paling bagus dan paling mahal, yaitu Batu Ohen. Merasa mencari batu lebih menjanjikan daripada bertani, Ohen banting setir dari petani menjadi pencari batu akik.
Pilihan hidup itu belakangan diikuti ratusan warga Cipeundeuy lainnya. Mereka berharap bisa mengubah nasib seperti Ohen dengan menemukan batu sebagus Batu Ohen. Yang jelas, nasib Ohen hingga akhir hayatnya tidak berkilau seperti batu yang ditemukannya. Kini batu yang ditemukannya dihargai ratusan juta, bahkan hingga tembus Rp2,5 miliar di pasaran luar negeri.
Di balik itu, kondisi kehidupan Ohen sehari-hari sangat memprihatinkan. Pada akhir hayatnya, dia ini menghabiskan waktunya di salah satu rumah anaknya, Jaed, di kawasan Cipeundeuy. Rumah istri-istrinya pun (Ohen sempat menikah empat kali) berbentuk gubuk panggung sederhana.
“Biarpun batu yang ditemukannya terkenal dan sangat mahal, kehidupan bapak saya malah sebaliknya. Tak tahu memang dulu itu bapak tidak bisa menyimpan uang atau bagaimana. Yang jelas, begitulah kondisinya,” tuturnya. Ohen menjadi legenda. Berkat Ohen, nama Bungbulang terangkat ke permukaan hingga dikenal se-Nusantara oleh para penjual dan pencinta batu mulia.
Nilai lebih dari batu yang ditemukannya itu adalah memiliki tingkat kekerasan serta kilat yang lebih daripada batu-batu mulia lainnya. Batu Ohen umumnya berwarna hijau kemilau. Seorang pengamat batu sempat menulis di Kaskus bahwa seorang kolektor yang mendapatkan bongkahan batu hijau ini pernah memeriksakannya ke Inggris.
Dari hasil penelitian tersebut diperoleh keterangan bahwa Batu Ohen memang masuk jajaran batu mulia. Yang lebih mengagetkan, di Korea, Batu Ohen memang sempat laku hingga Rp2,5 miliar. Meski tak seperti harga yang ditawarkan di Negeri Ginseng, Batu Ohen masih memiliki harga cukup wah di pasar dalam negeri.
Di Matraman, Jakarta, saja misalnya, seorang penjual pernah mematok harga Rp7 juta untuk Batu Ohen yang masih berbentuk bongkahan sebesar kelapa. Sementara itu, Rohidin, salah seorang bos tambang batu akik di Gunung Cianggel, mengaku sempat menemukan batu berkelas yang dihargai hingga Rp50 juta per bongkah. “Namun sekarang ini menemukan batu ohen atau yang sekelasnya seperti batu pancawarna, cukup susah.
Tidak setiap bulan kami bisa menemukan batu semacam itu,” ungkapnya. Yang sekarang ini berhasil ditambang hanya batu-batu kelas biasa yang harganya antara Rp2 juta hingga belasan juta per bongkahan. Namun. menurut Rohidin, omzet per bulan dari menjual batu akik kurang lebih Rp50 juta. Hasil itu dibaginya dengan buruh penambang, biaya sewa lahan, biaya angkut serta biaya lainnya.
Secara tidak sengaja, dia menemukan sebongkah batu sebesar kelapa. Batu itu cukup dalam terbenam di dalam lumpur. Setelah bersusah payah menggali, Ohen pun membawanya ke darat. Seusai dicuci bersih, baru ketahuan batu tersebut berwarna hijau. Tak dinyana, rezeki besar bagi Ohen pun tiba. Setelah disimpan di kolong tempat tidurnya, beberapa pekan kemudian seorang warga Bogor yang datang ke rumahnya membeli batu penemuannya.
Yang mengejutkan bagi Ohen dan keluarga, batu ini dihargai Rp1,5 juta. Jumlah uang dengan nilai yang cukup fantastis di era 70-an. “Itu tahun 70-an. Kalau sekarang tidak tahu setara berapa ratus juta. Saat itu harga emas masih di kisaran ratusan perak,” kata Ojan, 50, putra Ohen saat ditemui di rumahnya di Kampung Limus Piit, Desa Caringin, Kecamatan Caringin.
Sejak itulah nama Ohen menjadi terkenal. Mungkin karena kualitas batu yang ditemukannya sangat bagus, maka namanya pun diabadikan menjadi nama batu akik yang berkualitas paling bagus dan paling mahal, yaitu Batu Ohen. Merasa mencari batu lebih menjanjikan daripada bertani, Ohen banting setir dari petani menjadi pencari batu akik.
Pilihan hidup itu belakangan diikuti ratusan warga Cipeundeuy lainnya. Mereka berharap bisa mengubah nasib seperti Ohen dengan menemukan batu sebagus Batu Ohen. Yang jelas, nasib Ohen hingga akhir hayatnya tidak berkilau seperti batu yang ditemukannya. Kini batu yang ditemukannya dihargai ratusan juta, bahkan hingga tembus Rp2,5 miliar di pasaran luar negeri.
Di balik itu, kondisi kehidupan Ohen sehari-hari sangat memprihatinkan. Pada akhir hayatnya, dia ini menghabiskan waktunya di salah satu rumah anaknya, Jaed, di kawasan Cipeundeuy. Rumah istri-istrinya pun (Ohen sempat menikah empat kali) berbentuk gubuk panggung sederhana.
“Biarpun batu yang ditemukannya terkenal dan sangat mahal, kehidupan bapak saya malah sebaliknya. Tak tahu memang dulu itu bapak tidak bisa menyimpan uang atau bagaimana. Yang jelas, begitulah kondisinya,” tuturnya. Ohen menjadi legenda. Berkat Ohen, nama Bungbulang terangkat ke permukaan hingga dikenal se-Nusantara oleh para penjual dan pencinta batu mulia.
Nilai lebih dari batu yang ditemukannya itu adalah memiliki tingkat kekerasan serta kilat yang lebih daripada batu-batu mulia lainnya. Batu Ohen umumnya berwarna hijau kemilau. Seorang pengamat batu sempat menulis di Kaskus bahwa seorang kolektor yang mendapatkan bongkahan batu hijau ini pernah memeriksakannya ke Inggris.
Dari hasil penelitian tersebut diperoleh keterangan bahwa Batu Ohen memang masuk jajaran batu mulia. Yang lebih mengagetkan, di Korea, Batu Ohen memang sempat laku hingga Rp2,5 miliar. Meski tak seperti harga yang ditawarkan di Negeri Ginseng, Batu Ohen masih memiliki harga cukup wah di pasar dalam negeri.
Di Matraman, Jakarta, saja misalnya, seorang penjual pernah mematok harga Rp7 juta untuk Batu Ohen yang masih berbentuk bongkahan sebesar kelapa. Sementara itu, Rohidin, salah seorang bos tambang batu akik di Gunung Cianggel, mengaku sempat menemukan batu berkelas yang dihargai hingga Rp50 juta per bongkah. “Namun sekarang ini menemukan batu ohen atau yang sekelasnya seperti batu pancawarna, cukup susah.
Tidak setiap bulan kami bisa menemukan batu semacam itu,” ungkapnya. Yang sekarang ini berhasil ditambang hanya batu-batu kelas biasa yang harganya antara Rp2 juta hingga belasan juta per bongkahan. Namun. menurut Rohidin, omzet per bulan dari menjual batu akik kurang lebih Rp50 juta. Hasil itu dibaginya dengan buruh penambang, biaya sewa lahan, biaya angkut serta biaya lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar